Selasa, 10 Juni 2008

Kekerasan yang melingkar-lingkar, salah siapa ?

Kehidupan masyarakat Indonesia saat ini penuh dengan kekerasan baik berupa kekerasan personal, institusional maupun struktural. Setiap hari kita dihadapkan pada informasi mengenai terjadinya kekerasan, baik berupa teror bom yang menjadi tren/kecenderungan saat ini, pembunuhan, perkosaaan, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak baik fisik maupun psikis, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, dan jugaketimpangan social dan ketidakadilan yang merupakan pemicu dari kekerasan itu sendiri. Begitu banyak pengungsian terjadi di Aceh, Kalimantan Barat, Poso, Ambon, Timor Barat dll yang kesemuanya merupakan korban dari tindak kekerasan akibat konflik politik dan SARA yang begitu banyak menyeret rakyat kecil yang tidak tahu menahu dengan masalah politik dan SARA. Banyak diantara kita yang pasti tidak tega menyaksikan mereka yang menjadi korban kekerasan seperti misal korban bom di gereja maupun ditempat umum (seperti di Bursa Efek Jakarta maupun Plaza) dan selalu mengutuk para pelaku kekerasan. Namun mereka yang menyukai kekerasan dan mengambil jalan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan seolah-olah menjadi buta matanya dan tuli hatinya, telah kehilangan daya nalar dan hati nuraninya dan terus melanjutkan kegitannya menebar ketakutan dan kekerasan dimana-mana. Selalu saja muncul kekerasan yang seolah-olah melingkar lingkar tak bertepi dan menjadi tugas kita semua untuk mencari jalan keluar sehinggga terwujud impian masyarakat yang adil dan damai.


Akar penyebab kekerasan

Sangat sulit membuat daftar akar penyebab terjadinya kekerasan, karena kekerasan sebenarnya merupakan permasalahan yang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan sistem yang ada dalam tatanan kehidupan masyarakat kita serta bagaikan spiral yang terus melingkar –lingkar, dalam artian kekerasan yang satu menumbuhkan kekerasan lainnya. Kita tidak dapat menganggap kekerasan sebagai masalah yang sederhana, dan harus menjadi fokus perjuangan kita semua untuk melawan kekerasan dalam segala bentuknya. Tokoh anti kekerasan yang terkenal seperti Mahatma Gandi, Martin Luther King Jr Uskup Agung Dom Helder Camara, Ibu Gedong dari Bali , Romo Mangun, Gus Dur dll perlu diteladani dan ditindaklanjuti oleh generasi penerus dalam memperjuangkan perlawanan terhadap kekerasan dalam segala bentuknya baik oleh perorangan, institusi maupun atas nama negara.
Kekerasan biasanya dapat berupa ketidak adilan baik menyangkut ;
Ø tidak diindahkannya hak-hak dasar yang dimiliki manusia itu sendiri seperti tercantum dalam piagam HAM,
Ø masalah ketidakadilan gender,
Ø upah yang rendah dan tidak manusiawi,
Ø hak konsumen yang diabaikan,
Ø hak cuti yang tidak diberikan sepenuhnya untuk para pekerja
Ø tidak tersedianya lapangan kerja bagi rakyat
Ø harga komoditi pertanian yang terlalu rendah dan tidak adil,
Ø penganiayaan fisik maupun psikis terhadap perempuan, istri, anak, orang lain
Ø kebijakan pembangunan yang terpusat di perkotaan
Ø kebijakan yang menggusur kaum marginal
Ø mahalnya biaya pendidikan yang tidak terjangkau rakyat kecil
Ø KKN yang meraja lela
Ø Pelayanan publik yang kurang baik dan cenderung diskriminatif hanya untuk kota dan kurang perhatian untuk daerah terpencil dari pemerintah
Ø Penguasaan dan pengusahaan SDA(tanah/ lahan , tambang, hutan dll) maupun akses informasi yang hanya terpusat pada golongan elit
Ø Tirani minoritas maupun mayoritas
Ø Pengebirian kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan yang dimiliki rakyat.
Ø Monopoli dalam perdagangan
Ø Dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.

Lawanlah kekerasan!

Kekerasan dalam segala bentuknya tidak dapat diterima meskipun dengan alasan yang sangat logis dan pembenaran yang rasional. Melawan kekerasan adalah inti dari perjuangan menegakkan demokrasi, mewujudkan kasih kepada sesama, meningkatkan keberadaban kita sebagai manusia beradab ciptaan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Menyelesaikan segala konflik dan pertikaian dengan kekerasan sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, namun justru menambah masalah baru yang lebih runyam dan meyulitkan untuk dicari solusinya. Kita harus bijak menentukan sikap dalam menyelesaikan setiap masalah/konflik yang kita hadapi dengan pendekatan anti kekerasan dan anti anarkhi, seperti halnya motto Perum Pegadaian yakni menyelesaikan masalah tanpa masalah. Melawan kekerasan dengan kelembutan hati hanyalah salah satu cara untuk tidak terjebak masuk dalam lingkaran spiral kekerasan. Kita harus melihat akar masalah kekerasan yang terjadi antara lain ketidak adilan. Mengurangi kekerasan dan menggantikan dengan budaya beradab yang mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat hanya dapat abadi kalau kita mampu mengurai benang ketidak adilan yang terjadi diseputar kita, serta melakukan penyadaran/konsientisasi baik pada kaum penindas maupun kaum tertindas sehingga dapat dicapai kompromi yang dapat diterima oleh semua kalangan yang terlibat dalam konflik. Maka melawan kekerasan, tidak hanya menyuarakan kasih dan meningkatkan derajat pemahaman kita terhadap religiositas, tetapi juga tindakan praksis penerapan ajaran agama untuk melawan setiap bentuk penindasan, termasuk yang dilakukan oleh lembaga agama sekalipun, sehingga agama bukan merupakan candu dan memberikan impian kosong, melainkan menjadi garam dan terang yang mampu mengubah kehidupan diseputar kita menjadi lebih manusiawi dan lebih beradab. Karena pengalaman selama ini mengajarkan kepada kita tentang tidak adanya jaminan yang mengatakan bahwa tidak akan ada lagi tindak kekerasan dari masyarakat yang mengaku agamis maupun jaminan yang pasti dari negara akan hak hidup dan hak milik warga negara. Kita dapat melihat dengan jelas bahwa perbedaan sikap beradab dan biadab sangat tipis, hanya dibatasi satuan waktu. Ketika orang Madura masih bisa saling tersenyum dan saling mengasihi dengan orang Dayak maka kita katakan sebagai masyarakat beradab, namun ketika mereka saling menyerang dan membunuh tanpa rasa kemanusiaan kita katakan sebagai biadab, demikian pula di Ambon ketika masyarakat asli Ambon/Maluku dengan pendatang terutama BBM (Buton, Bugis, Makassar) hidup berdampingan secara damai dengan tradisi budaya kerukunan yang kuat meski berbeda agama, suku dll maka kita katakan masyarakat yang beradab, namun ketika mereka saling membantai dan menjadi dua kubu yang bermusuhan yakni kubu merah melawan putih (bukan merah putih yang menyatu seperti bendera Indonesia) maka masyarakat sudah terjerumus ke situasi yang biadab dimana kita dapat melihat para lansia yang tidak kuat berjalan harus digendong utnuk menyelamatkan diri dari kebinasaan akibat tembak menembak dua kubu yang berlawanan dan anak-anak yang menangis histeris ketakutan dalam rangkulan dan gendongan ibunya yang mencoba memberi perlindungan kepada anak yang dikasihinya untuk terus dapat bertahan hidup. Perang antar suku yang memperebutkan sebidang tanah seharusnya tidak perlu terjadi apabila ada kesadaran akan pentingnya distribusi lahan yang adil bagi kedua belah pihak dan jika perlu mengajak kedua belah pihak untuk mengelola secara bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagai wujud hidup berdampingan secara damai dan solidaritas sejati. Kekerasan selalu mengorbankan orang-orang yang lemah seperti perempuan, anak-anak , lansia maupun para penyandang cacat. Pelaku kekerasan yang merasa sebagai pahlawan hendaknya menangisi dirinya sendiri yang merasa heroik, namun mengorbankan mereka yang lemah. Keperkasaan mereka dalam kekerasan sebenarnya tidak pernah menang secara hakiki, karena mereka hanya menang melawan orang-orang lemah dan yang lebih penting adalah mereka dikalahkan oleh rasa kemanusiaannya sendiri yang beradab ketika memuja kekerasan yang melawan kemanusiaannya sendiri. Demikian pula dikalangan birokrat pemerintahan yang mengambil kebijakan untuk kepentingan publik, hendaknya menyadari ketika kebijakan yang dituangkan dalam Perda maupun peraturan lainnya menumbuhkan dan menyinggung rasa ketidak adilan dari rakyat, maka anda sebagai birokrat secara tidak langsung sebenarnya melakukan kekerasan secara sistemik/sistematis yang berdampak luas karena akan menimbulkan perlawanan maupun pembangkangan rakyat baik aktip seperti demo-demo maupun pasif seperti tidak mau membayar pajak dll. Maka menjadi kewajiban kita semua dengan talenta yang dipunyai untuk mewujudkan keadilan sebagai bukti bahwa kita melawan kekerasan yang ada dimasyarakat. Kita ciptakan aturan –aturan yang lebih memihak rakyat banyak, memberi rasa keadilan, menumbuhkan rasa solidaritas sejati dikalangan rakyat sebagai satu bangsa yang besar dan beradab seperti halnya semboyan bhinekka tunggal ika..
Dan kita ciptakan pasar yang adil, pembangunan prasarana dasar yang merata terutama untuk daerah terpencil, kita bangun perekonomian rakyat melalui ekonomi kerakyatan, kita didik masyarakat melalui pemberdayaan dalam segala bidang terutama pemberdayaan politik rakyat sehingga menjadi kritis dan cerdas dengan memberikan pendidikan formal maupun non formal yang murah dan terjangkau, kita distribusikan asset negara berupa Sumber Daya Alam (SDA) bukan pada segelintir elit tetapi pada rakyat yang berada di lokasi sekitar keberadaan SDA sehingga mereka dapat menjaganya serta dapat menikmati kehidupan yang lebih sejahtera dari pengelolaan SDA tersebut. Mari kita jauhkan retorika, kita singsingkan lengan kita dan kita uji kesungguhan kita semua dalam keberpihakannya kepada rakyat banyak melalui program kerja kita dalam ikut serta menciptakan perdamaian dan keadilan di bumi NTT khususnya, dan Indonesia pada umumnya Jangan lagi kita mengulang kesalahan yang sama memuja kekerasan sebagai jalan penyelesaian, melainkan kita bangun demokrasi yang santun, jauh dari kekerasan, serta membawa masyarakat dalam proses dialogis yang sehat, transparan, rasional sebagai wujud dari dialog iman, dialog karya dan aksi. Kita ziarahi kehidupan kita dengan lebih mengedepankan nilai-nilai moralitas dalam mencapai pencarian kehidupan yang hakiki yang terbebas dari nafsu kesewenang-wenangan/kekuasaan, sehinggga wewenang yang ada pada kita bukan untuk menambah kekerasan, melainkan menjadi peminpin yang melayani dan tidak bermental BOS yang mampu memberi rasa sejuk, damai, dan yang lebih penting mewujudkan suasana adil dalam kedamaian dan damai dalam keadilan. Kita bangun komunitas masyarakat yang tercukupi secara materi, namun tidak mengabaikan spritualitas iman dalam setiap tindakan kita sehingga kita akan mencapai oase yang sejuk dalam kedamaian abadi di surga.Semoga !!!

Tetap merdeka dalam keterpurukan ?

Setiap memasuki bulan Agustus, kita selalu diingatkan oleh peristiwa heroik yang terjadi di era tahun 45 ketika dengan gegap gempita serta dalam kondisi yang serba seadanya atau bahkan kekurangan, kita sebagai bangsa memproklamirkan kemerdekaannya. Saat ini dalam rangka memperingati hari kemerdekaan , kita disepanjang jalan dapat menemui beberapa kendaraan yang melilitkan sebuah bendera ukuran kecil yang kita hormati dan kita pertahankan dengan pengorbanan jiwa berupa bendera merah putih. Masih segar dalam ingatan ketika sekolah di SD guru saya menjelaskan tentang arti warna bendera kita dimana merah diartikan berani dan warna putih artinya suci dan diajari menyanyi lagu “berkibarlah benderaku …”. Maka dikaitkan dengan situasi yang terjadi di tanah air saat ini, saya mencoba merenung kembali apa sebenarnya arti kemerdekaan bagi pribadi saya ditengah keterpurukan bangsa ini, dan ditengah perebutan kekuasaan yang tanpa etika dan moral yang lebih mengedepankan kepentingan golongan maupun partai ? Ketika kita melihat tingkat kesulitan hidup yang luar biasa bagi saudara-saudara kita yang masih terhimpit dan terjepit kesulitan ekonomi untuk dapat memenuhi kebutuhan mempertahankan hidup secara fisik saja, ketika ribuan bayi. balita dan batita mengalami ketidaknormalan pertumbuhan baik fiisik, intelektual maupun psikis karena gisi buruk, ketika banyak anak tak mampu lagi bersekolah, ketika semua harga kebutuhan dasar, tarif listrik, tarif telepon, tariff BBM melonjak dan tak terjangkau, ketika kelaparan melanda dibeberapa daerah di Indonesia, ketika bom meledak di berbagai daerah, dan ketika kita bertanya mengapa semua ini terjadi padahal kita telah merdeka selama 60 tahun ? Tidak mudah menemukan jawab, dan mari kita tanya kepada rumput bergoyang, sejauh mana kita sebagai pribadi/personal sebagai warga negara yang baik ikut menyumbang kebaikan bagi negeri ini ? Seperti yang didengungkan oleh seorang Kennedy Presiden AS yang terkenal yang menyatakan ; ‘Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan untuk negaramu ?’

Mengulang rutinitas

Ketika tanggal 17 Agustus sudah mulai dekat, kita selalu melihat banyak pagar depan rumah dan kantor diperbaiki dan dicat kembali, diberbagai jalan dipasang umbul-umbul bendera, pemasangan gapura, diadakan lomba baris berbaris, panjat pinang dsb, ada kegiatan hiburan dengan berbagai macam atraksi yang digelar, dan pada saat 17 Agustus maka beramai-ramai kita melakukan upacara bendera untuk memperingati hari proklamasi yang mengantar kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka, bermartabat dan berdaulat. Semua rutinistas ini selalu berulang setiap tahun dan jangan sampai kita secara tak sadar terjebak dalam suatu rutinitas yang tak bermakna. Apakah kita sebagai sebuah warga dari bangsa yang merdeka benar-benar merasakan makna penting dari sebuah kata merdeka ? Atau kita tidak peduli lagi dengan semua yang terjadi di republik ini ? Sudah saatnya bagi kita untuk merefleksi kembali dan menggugat arti dari keadaan ‘merdeka’ dalam artian yang sebenarnya !. Ketika 60 tahun berlalu dan kita memasuki milenium ke tiga , kita dapat bertanya kembali sudah sejauh mana perjalanan kita sebagai bangsa yang mempunyai cita-cita kedepan untuk masyarakat Indonesia ? Bukankah para pendiri bangsa sudah memandu kita melalui pembukaan UUD 45 yang didalamnya memuat arahan bagi kita dalam mewujudkan masayarakat yang adil dan makmur ? Ketika Bapak pendiri bangsa mengamanatkan dalam pembukaan UUD 45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pertanyaannya untuk kita semua sudah seberapa banyak dari warga kita yang benar-benar cerdas dan kritis, bukan hanya sekedar mempunyai gelar akademis S1, S2. S3 ? Atau masih banyak diantara kita yang melacurkan intelektualitasnya demi kemapanan hidup, menjaga status quo, memikirkan diri dan keluarganya saja, memperoleh jabatan yang berarti memperoleh fasilitas dan angpao, memutarbalikkan fakta dan kebenaran, memenuhi dan memuja hedonisme untuk diri kita ? Seberapa banyak para birokrat kita yang dengan kecerdasannya dan kearifannya mampu meningkatkan harkat hidup dan kesehjahteraan masyarakat, terutama masyarakat miskin di daerah terpencil ? Seberapa jauh para akademisi dengan kemampuan intelektual dan ilmunya mampu mengurai dan mengurangi kesulitan yang dihadapi masyarakat kecil melalui penggunaan teknologi, penerapan sistem ekonomi yang memihak rakyat maupun ilmu-ilmu lainnya yang terkait langsung dengan kehidupannya ? Seberapa banyak pemuka agama yang mampu membebaskan umatnya dari rasa putus asa karena menjadi pengangguran akibat tidak memperoleh kerja sebagai penopang hidup dan wujud dari aktualisasi dirinya ? Seberapa banyak polisi yang benar-benar mempunyai keinginan untuk mengayomi dan memberikan rasa aman kepada warga masyarakat ? Seberapa banyak dokter dan paramedis yang benar-benar melayani masyarakat dengan sepenuh hati untuk dapat sembuh dari penyakit dan penderitaaan yang dialaminya ? Atau kita semua dari berbagai profesi sudah terlilit dalam kubangan materialisme dan hanya uang dan materi yang mampu menyemangati dalam kehidupan kita. Ketika kita melihat dalam kehidupan kita sehari-hari adanya perampokan secara kasar oleh penjahat maupun secara halus oleh pejabat melalui KKN yang menumbuhkan kebencian dari masyarakat karena membuahkan kekerasan dan ketidak adilan dalam masyarakat, maka perayaan kemerdekaan dapat menjadi ajang refleksi bagi kita semua, apakah kita benar-benar paham arti sebuah kemerdekaan atau kita hanya sekedar ikut meramaikan saja supaya kelihatan sok nasionalis ?
Merampok uang rakyat, menggunakan kekuasaan untuk kepentingan keluarga, golongan maupun kelompoknya merupakan tindakan orang-orang yang belum merdeka karena terbelenggu oleh penguasaan materi dan kekuasaan dan selalu merasa terperangkap dalam nafsu serakah dan kekerasan.


Merdeka dalam keadilan

Mari kita rayakan kemerdekaan dengan kesungguhan hati , kebeningan nurani, kepekaan sosial yang tinggi, kecerdasan yang kita miliki, kearifan, dan mempertanggungjawabkan kemerdekaan yang kita alami semuanya pada Sang Maha Adil. Kita gunakan momen yang penting dan bersejarah ini untuk tidak terjebak dalam rutinitas, namun mampu menggali arti hakiki dari sebuah kemerdekaan. Masing-masing dari kita sebagai warga negara yang baik dengan talenta yang kita punyai dan profesi kita mampu menyumbang rasa keadilan dalam pembangunan republik ini sehingga tidak justru sebaliknya memanfaatkan semua peluang / celah hukum maupun sistem kontrol untuk melakukan KKN dan sebangsanya yang merugikan negara dan menimbulkan ketidakadilan yang berujung pada tumbuhnya kekerasan dalam masyarakat dan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara. Kita cermati UUD 45 yang belum terealisasi untuk kita realisasikan sebagi wujud penghormatan kepada para pejuang yang telah gugur membela kemerdekaan maupun para pendiri bangsa yang dengan susah payah memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Kita lakukan amandemen UUD 45 untuk menyempurnakan tatanan republik ini sehinga lebih demokratis, berkeadilan dan beradab. Jangan ada lagi penjajahan gaya baru baik oleh bangsa kita sendiri maupun bangsa lain, berupa penjajahan ekonomi, hukum maupun lainnya atas nama globalisasi. Mari kita wujudkan kata merdeka dalam tindakan, bukan sekedar teriakan yang hanya enak didengar namun tidak ada implikasinya dalam mensejahterakan rakyat. Hidup rakyat Indonesia yang mampu merdeka dalam berpikir dan berpikir merdeka !!!!

Menunggu tenggelamnya “Merah Putih di tiang Perahu retak bangsa” melalui disintegrasi dan konflik elit politik ?

Menyimak dan mengamati perkembangan politik ditanah air, terkadang menumbuhkan rasa sesak di dada karena timbulnya rasa iba, malu, pilu dan berbagai gejolak hati yang tak mampu terungkap dan terucap lewat kata. Alangkah menyedihkan kondisi perpolitikan kita saat ini, yang sebenarnya dikemudikan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi (sebagian dari mereka adalah Doktor) maupun sebagai pimpinan umat (minimal mantan pemimpin), namun dalam kenyataan mereka begitu hobi berkonflik satu dengan yang lain. Mereka, para pimpinan politik seolah-olah berlaku sebagai petinju seperti halnya Mike Tyson, yang siap bertarung dengan siapa saja asal memperoleh bayaran yang tinggi. Memukul lawan mainnya bagi Tyson adalah rejeki, dan keterjungkalan lawan mainnya berarti kemenangan bagi dirinya serta mengukir prestasi dunia yang akan dielu-elukan para penggemarnya. Jika perlu untuk memenangkan pertandingan perlu “bermain cantik” dengan menggigit telinga lawan mainnya. Padahal menurut masyarakat, menggigit telinga seseorang adalah tindakan tidak terpuji dan kejahatan kriminal kekerasan. Para elit politisi kita saat ini telah berlaku seperti halnya petinju yang hanya melihat pihak yang berbeda adalah lawan yang harus dirobohkan, menjadikan negara sebagai tempat/ ajang ring tinju dan masyarakat menjadi suporternya.

Etika politik diabaikan

Inilah wajah perpolitikan Indonesia yang dimainkan oleh orang-orang pintar, cerdas, namun kurang berwawasan kebangsaan, kurang bersikap kenegarawanan dan senang menggunakan berbagai rekayasa politik, memainkan rasa etnis, suku, keagamaan secara berlebihan. Agama ditarik kebawah menjadi lebih rendah nilainya dan cenderung dipolitisir, sehingga agama yang menjadi tuntunan hidup yang sakral telah dibelokkan hanya untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Sentimen agama mulai dibangkitkan diantara pengikutnya dan benturan elit politik tingkat vertikal berubah menjadi bencana bagaikan air bah ketika ditarik ketataran horizontal. Sebagian masyarakat kita yang dalam kondisi terengah-engah mempertahankan hidup bagaikan orang yang menunggu ajal dengan napas yang tinggal satu-satu akibat krisis multi dimensi, ternyata kondisi tersebut sama sekali tidak mampu menggugah sense of crisis para pemimpin politik kita untuk lebih mengedepankan kepentingan rakyat banyak daripada hanya melakukan perebutan kekuasaan. Hati nurani dan kepekaan sosial kemanusiaan mereka telah sirna dan digantikan kepongahan akan kekuasaan, baik di eksekutip, legislatip maupun yudikatip. Para politisi menjadi buta dan tuli hatinya, meskipun bangsa ini telah diberi sinyal tanda jaman dari “Sang Pencipta” melalui berbagai bencana baik bencana alam (gempa bumi, banjir, angin topan, longsor dll) maupun bencana politik (Aceh, Sambas, Sampit, Ambon, Poso, Papua dan kota mana lagi yang akan menyusul ?) Masih kurang banyakkah korban-korban anak negeri yang tidak berdosa namun harus meregang nyawanya hanya karena mereka hidup bukan di tanah kelahirannya, meskipun tanah yang didiami masih termasuk tanah airnya yakni Indonesia ? Salahkah mereka yang berstatus sebagai pendatang ingin menggapai kehidupan yang lebih baik di tanah orang, namun masih dinegeri sendiri melalui transmigrasi baik oleh pemerintah maupun atas kehendak sendiri? Salahkah penduduk lokal yang marah karena tidak diberi peran dan dipersiapkan sejak awal dengan perlakuan khusus oelh pemerintah ORBA maupun Orde Refoemasi untuk mampu bersaing di alam pembangunan sehingga mereka saat ini hanya menjadi penonton pembangunan didaerah kelahirannya sendiri ? Salahkah warga lokal yang merasa keadilan hanya sebuah retorika, karena mereka harus terus menerus hidup susah dengan ekonominya yang ‘lemah lembut’, tergusur dari tanahnya, diperlakukan dengan kekerasan, sementara para pendatang menguasai berbagai bidang strategis baik di pemerintahan, ekonomi, maupun politik ? Siapakah sebenarnya pemilik bumi yang kita diami ini ? Bukankah Tuhan menciptakan bumi untuk didiami manusia dari berbagai suku bangsa untuk saling mengenal dan menyempurnakan satu dengan lainnya ? Lalu jika terjadi konflik seperti saat ini, menjadi tanggung jawab siapa, salah siapa, dan dosa siapa ? Jangan kita bertanya pada rumput yang bergoyang seperti lirik yang dilantunkan Ebiet karena goyangan konflik ini mampu mengkoyak perahu bangsa Indonesia yang telah retak dan tinggal menunggu tenggelam dihantam krisis multi dimensi dan konflik elit politik dan meruntuhkan “Merah Putih “ yang dikibarkan diatas perahu kita. Apa yang harus kita lakukan bersama-sama untuk menyelamatkan perahu retak Indonesia akibat tidak digunakannya etika oleh para elit politik kita baik semasa ORBA maupun sekarang ini ? Mampukah kita yang berada jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta) menyuarakan keprihatinan dan litani kesengsaraan para pengungsi, kaum pinggiran, sopir angkutan umum yang diperas preman, buruh-buruh kecil, para penganggur yang kebingungan mencari kerja dan menanggung beban ekonomis dan psikis, dan mereka semua rakyat kecil yang seharusnya diberi perlindungan dan diringankan penderitaannya, namun dalam kenyataan hanya diabaikan dan dipandang sebagai pelengkap penderitaan dari sebuah pembangunan bangsa yang mengaku berbudaya dan beradab ? Mungkin para politisi jika ditanya tidak akan lupa dengan kelima sila PancaSila sebagai sebuah hapalan, namun sebagai perwujudannya banyak elit politik yang sudah melupakan makna hakiki dari setiap sila yang menjadi falsafah bangsa, yang mengikat kita semua sebagai sebuah bangsa yang mengaku besar namun kerdil dalam menyikapi krisis multi dimensi yang kita alami bersama.

Kompromi politk melalui rekonsiliasi

Kata rekonsiliasi telah menjadi kosa kata yang kita kunyah dan telan setiap hari seperti halnya makanan yang harus kita makan kalau kita ingin tetap sehat, bugar, dan melakukan aktivitas “memuliakan Sang Pencipta” melalui hasil kerja kita dalam keseharian. Ketika kita menyadari bahwasanya kerja bukan hanya untuk memenuhi “kebutuhan jasmani”, namun juga memenuhi kebuthan akan ‘makanan rohani’ , maka kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri, apa sumbangan kita sebagai anak bangsa / negeri yang sedang melihat kondisi bangsa yang mengalami kesakitan luar biasa untuk mengurangi rasa sakit yang dihadapi bersama ? Maukah kita memulai dari lingkungan yang terkecil yakni keluarga batih untuk melakukan rekonsiliasi diantara anggota yang berseteru menuju kompromi untuk membangun kesatuan keluarga ? Jika hal ini terus dapat dilakukan berjenjang sampai tingkat bangsa sebagi sebuah keluarga, maka akan mendorong para elit politik untuk kembali menumbuhkan rasa malu dalam dirinya, sehingga mereka meyadari akan ‘ketelanjangan ambisi kekuasaannya’ yang mengorbankan rakyatnya. Mari kita suarakan secara lantang dan bersama-sama akan kebosanan dan kemuakan kita terhadap perilaku elit politik yang sudah tidak lagi berbusana etika politik dan nilai-nilai luhur warisan budaya leluhur kita. Pemimpin yang demikian seharusnya tidak lagi pantas memimpin negeri (yang indah dengan sejuta pulau, bhineka tunggal ika, kaya akan nilai budaya dan SDAdll), dan sebaiknya dinatara mereka melakukan kompromi politik melalui rekonsiliasi total, dan menyerahkan kepemimpinannya pada politisi muda yang etis , berwawasan kebangsaan, kenegarawanan, dan bermoral tinggi demi kepertingan rakyat.

Suksesi politisi muda

Setelah melakukan kompromi melalui rekonsialisi total, minimal keempat tokoh yang dianggap tokoh nasional ini sebaiknya berkompromi untuk memilih sekumpulan politisi muda dari 200 juta rakyat Indonesia yang terbebas dari kontaminasi KKN ORBA maupun rejim reformasi yang gagal mengemban amanat reformasi. Biarlah suksesi kepemimpinan nasional tidak ditandai dengan kekerasan, korban jiwa yang tak perlu, bencana politik yang akan semakin menyusahkan rakyat. Beri kesempatan kepada sekumpulan politisi muda ini untuk menyiapkan pemilu yang dipercepat dengan sistem pemilihan langsung yang jujur, demokratis dan terbebas dari money politic. Diharapkan yang tampil sebagai pemenang adalah seorang Presiden muda usia sehat jasmani dan rohani namun penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan, Ketua MPR yang masih muda usia namun sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya seperti halnya tokoh pergerakan kemerdekaan kita dan Ketua DPR yang meski muda usia namun punya prinsip bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan aspirasi rakyatlah yang disuarakan, bukan aspirasi golongan, apalagi membangun konspirasi politik yang tidak sehat dan malakukan money politic yang tidak etis. Kata orang bijak, jumlah usia tidak menentukan bijaksana atau tidaknya seseorang, melainkan hati nurani yang jernih, kejujuran, kecerdasan, solidaritas sosial yang tinggi, religiositas tinggi yang memandang jabatan pemimpin sebagai amanah, mau melayani dan mempertanggungjawabkan hasil kepemimpinannya kepada Sang Khalik. Kita tunggu munculnya pemimpin muda yang cerdas, berbudi luhur, bijaksana, mempunyai wawasan luas yang mampu membawa Indonesia kearah masyarakat madani yang demokratis, beradab, berbudaya, berkeadilan dan sejahtera lahir batin. Mari kita kepakkan sayap-sayap kita yang meskipun patah namun masih tetap mencoba untuk terbang menggapai tempat tujuan, dan tidak berdiam diri menunggu tenggelamnya perahu retak bangsa bersama merah putih ditiangnya yang berbendera dan berkebangsaan Indonesia. Jangan lagi kita mengulangi kesalahan tenggelamnya kapal mewah ‘Titanic’, dimana ruang mesin telah kemasukan air, namun para penumpang elit, kaum borjuis yang diatas dek masih bermain musik sambil berdansa, dan tidak sempat lagi membangunkan anak kecil yang sedang terlelap tidur dan sedang bermimpi bahwa kapalnya telah merapat ke pelabuhan tujuan. Salam merdeka dari seorang anak negeri yang tidak berarti !!!


YBT. Suryo Kusumo

Salah seorang yang prihatin akan kondisi negeri.

Pembantu rumah tangga (PRT), budak atau mitra ?

Pembantu Rumah Tangga merupakan sekelompok orang yang dinilai rendah dalam status sosial di masyarakat serta dianggap sebagai profesi kaum pinggiran yang terabaikan, terisihkan dan merupakan kelompok pekerja yang tanpa perlindungan hukum namun sangat dibutuhkan kehadirannya dalam sebuah kehidupan keluarga modern. Mereka ini adalah cermin dari sebuah potret buram masyarakat bawah yang terseok-seok meniti kehidupan dialam globalisasi tanpa ketrampilan yang berarti selain kekuatan fisik berupa tenaga yang ada padanya. Posisi tawar mereka sangat rendah terhadap ‘majikannya’, kalau tidak dapat dikatakan tanpa posisi tawar sama sekali. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan yang berasal dari desa dan mencoba masuk dalam kehidupan kota yang baginya merupakan sebuah kota impian dan penuh harapan. Namun antara kenyataan dan impian memang seringkali sangat berbeda, sehingga ketika mereka masuk dalam kehidupan realitas yang penuh dengan sandiwara dan kemunafikan, mereka harus melakonkan sebuah peran seperti halnya seorang budak, yang seringkali diperas tenaganya tanpa jam istirahat yang jelas, upah kerja yang rendah, menerima umpatan, caci maki dan perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya. Inilah awal dari sebuah kesengsaraan panjang dan litani kesedihan dari PRT yang hidup dalam situasi keterpaksaan dan tanpa pilihan.


Antara dicaci dan dibutuhkan

Kehidupan PRT memang sebuah paradoks, disatu sisi kehadiran mereka sangat dibutuhkan oleh para perempuan karir yang bekerja diluar rumah maupun para istri yang kerepotan atau malas mengurusi pekerjaaan domestik rumah tangga, namun disisi lain mereka sering sangat dibenci, dicaci maki, diumpat apabila sedikit melakukan kesalahan ataupun ketika berusaha istirahat sejenak dari kelelahan panjang yang menderanya. Padahal PRT sebelum berkerja tidak diberi orientasi dan dibekali dengan ketrampilan , namun mereka dipaksa harus belajar sambil bekerja, sehingga wajar apabila mereka sering melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemauan dan standar minimal yang dimiliki majikannya. Sebuah ironi ketika melihat upah kerja yang diterapkan kepada mereka yang jelas-jelas sangat jauh dari upah standar minimum regional, namun dalam jam kerja mereka tidak mengenal kata istirahat. Demikian pula dalam hak-hak sebagai pekerja, mereka sama sekali tidak mampu menuntut seperti halnya para buruh, namun hanya mengandalkan kebaikan dari majikannya. Mereka setiap saat siap dipecat, diberhentikan walaupun mereka tidak mempunyai kesalahan apapun. Kebaikan hati dan pengertian dari majikanlah yang akan menyelamatkan PRT dalam kehidupannya dimasa kini dan masa depan , dan mereka sangat tergantung dari majikannya baik dalam menu makan, ketersediaan pakaian, kesehatan maupun hak-hak dasar lainnya. Padahal kita tahu bahwa mereka adalah kaum sebangsa yang kebetulan tidak beruntung dalam mengenyam kehidupan dalam era kemerdekaan bangsanya, yang tidak mempunyai pilihan lain selain sebagai PRT dalam menyambung hidupnya dan membantu orang tuanya di desa yang juga terlilit masalah kemiskinan yang mungkin sudah turun temurun. Jangan tanyakan arti keadilan bagi mereka, karena kata adil menjadi sangat abstrak dan tidak masuk dalam kehidupan mereka yang sudah biasa hidup dalam ketidakadilan dan penindasan yang terstruktur. Mereka sudah terbiasa dengan hidup penuh derita dalam kubangan kemiskinan dan tidak pernah lagi mempertanyakan mengapa semua ini harus dialaminya ? Hanya kepercayaan akan iman kepada Tuhan Yang Maha Adil yang menyebabkan mereka terus berjuang meraih kebahagiaan dalam hidup di dunia, mewujudkan kerja sebagai pengabdian kepada sesama, dan sarana untuk pemuliaan Tuhan. Mereka tidak pernah belajar teologi, namun mereka sangat meyakini bahwa hidup harus berusaha keluar dari penderitaan sebab sesuai iman yang diyakininya, Injil adalah khabar gembira bagi semua orang, termasuk dirinya. Bahkan dalam kemiskinannya, para PRT ini masih mampu menunjukkan solidaritasnya diantara mereka dengan memberi dari kekurangnya, meniru episod bijak seorang perempuan bersatus janda yang sudah jatuh miskin namun masih mampu memberi dari kekurangnya. Sementara dalam kehidupan modern kota, hal-hal bijak semacam ini sudah dianggap usang, kuno dan tak berlaku lagi karena untuk bertahan hidup kalau perlu kita mengorbankan orang lain atau memakan sesamanya, meskipun kita mengaku sebagai seorang yang beriman!

PRT, budak atau mitra ?

Memperlakukan PRT seperti halnya seorang budak belian dimasa lampau sebenarnya sudah tidak pantas lagi dijaman reformasi yang mengagungkan HAM dan menjunjung tinggi hak setiap warga untuk memperoleh pekerjaan secara layak. PRT sebenarnya bukanlah pembantu/budak kita, namun sebagai pekerja yang kebetulan membantu kita. Maka hak-hak seorang pekerja harus diberikan kepada mereka, baik dalam jumlah maksimum jam kerja setiap minggu, jaminan hidup yang layak maupun perlakuan manusiawi lainnya. Bukankah mereka adalah kaum sebangsa kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kebetulan kurang beruntung nasibnya? Atau kita sudah tidak peduli lagi, karena kita lebih berorientasi pada hal ekonomis menyangkut penghematan biaya, dibanding menghormati harkat dan martabat seorang manusia sebagai mahluk ciptaan yang secitra denganNYA ? Bukankah kalu kita merendahkan harkat dan martabat PRT berarti juga ikut merendahkan Sang Pencipta ? Atau kehidupan keagamaan kita hanya berlaku ketika kita beribadah pada hari tertentu saja dan tidak perlu tercemin dalam perilaku kehidupan keseharian kita ?


PRT = Pekerja Rumah Tangga

PRT untuk saat ini dan ke depan sebaiknya bukan lagi kepanjangan dari Pembantu Rumah Tangga melainkan Pekerja Rumah Tangga. Dengan mengakui mereka sebagai pekerja, maka sudah sewajarnya apabila kita yang menggunakan jasanya memberikan hak-hak dasar sebagai seorang pekerja, terutama dalam jam kerjanya, upah yang layak, perlakuan yang manusiawi, jaminan hidup yang lebih baik, serta hak-hak sosial sebagai warga masyarakat. Kita dapat membayangkan betapa repotnya apabila mereka tidak ada, dan kita semua harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga kita secara mandiri dan sendiri. Sudah saatnya kita juga ikut serta memberdayakan para pekerja rumah tangga yang ada di keluarga kita, sehingga mnereka tidak harus selamanya dalam hidupnya berprofesi sebagai PRT melainkan hanya sebagai batu loncatan untuk mempunyai ketrampilan yang lebih baik dan lebih beragam untuk kehidupan di hari depan. Mungkin mereka dapat diberi kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah formal, belajar ketrampilan memasak, menjahit, manajemen wirausaha kecil, atau ketrampilan lainnya sehingga mereka dapat merajut hari esoknya menjadi lebih baik. Dan ketika kita melihat mereka dengan profesi yang lebih baik lagi, maka kita ikut bangga karena secara tidak langsung kita ikut terlibat mengantar seorang anak bangsa menuju kehidupan yang lebih berharkat, bermartabat dan manusiawi. Semoga semakin banyak keluarga yang mempunyai niatan suci untuk memberdayakan PRT menjadi lebih meningkat wawasan dan ketrampilannya, memperlakukan mereka secara manusiawi sebagai bagian dari keluarganya, memberikan kesempatan untuk menggunakan hak-haknya, termasuk hak istirahat dan menjaga kesehatannya.
Jangan lagi ada perlakuan yang kurang manusiawi diantara kita terhadap PRT, dan marilah mereka kita jadikan mitra , karena kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita, yang mungkin saja didunia fana ini kita luput dari tangan-tangan hukum, namun kita tidak akan luput dari keadilanNYA ! Bukankah indikator keberhasilan hidup kita adalah selamat baik di dunia dan di akhirat ? Apalah artinya kita memiliki semua yang ada di dunia, namun kita kehilangan kesempatan untuk masuk dalam kerajaanNYA? . Amin.

Penerapan pertanian organik yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di lahan kering

Sistem tebas- bakar mengkritiskan lahan kering

Kawasan lahan kering di Nusa Tenggara cukup luas dan merupakan lumbung makanan bagi masyarakat tani yang mengandalkan hidupnya dari hasil pertanian.

Dengan demikian perlu ditemukan sistem pertanian yang paling sesuai dan bersifat melestarikan sumber daya alam pertanian yang merupakan kekayaan yang dimiliki petani.

Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan mengingat sistem pertanian yang dilakukan di lahan kering sampai saat ini sebaian besar masih berupa tebas-bakar dan sudah mulai pada lahan yang tetap sama dari tahun ke tahun akibat semakin sempitnya lahan yang ada. Sistem tebas-bakar ini tidak begitu menjadi masalah apabila disertai dengan rotasi lahan dalam kurun waktu yang cukup lama (15 – 20 tahun). Namun kenyataan yang banyak dijumpai di Nusa Tenggara adalah lahan dibabat dan dibakar menjelang musim hujan setiap tahunnya tanpa metode pengawetan tanah, untuk ditanami jagung, padi ladang dll. . Kemiringan lahan yang cukup besar dengan curah hujan yang relatip banyak dan intensitas yang tinggi memperbesar timgkat erosi dn mempercepat terbentuknya tanah kritis.

Maka perlu dipikirkan dan ditemukan alternatip sistem pertanian lainnya yang dapat diterapkan dilahan miring untuk sumber pangan berupa palawija namun tetap mampu berproduksi tinggi dan lestari. Salah satu dari sekian banyak sistem yang ada yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini adalah pertanian organik.

Pengertian pertanian organik.

Menurut USDA Study Term on Organic Farming, pertanian organik dirangkum dalam pengertian sebagai berikut :

“Pertanian organik merupakan suatu sistem produksi yang menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk kimia (pabrik), pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan adiktif pakan”.

Sampai tingkat maksimum yang dimungkinkan, sistem pertanian organik bersandar pada pergiliran tanaman, mendaur ulang sisa pertanaman, pupuk kandang atau kotoran ternak, legum, pupuk hijau, limbah organik dari luar usaha tani, kompos, penyiangan mekanik, batuan pengandung mineral dan aspek pengendalian hama secara biologis, untuk mempertahankan produktivitas dan kegemburan tanah, untuk memasok hara tanaman, dan untuk mengendalikan hama, gulma dan jasad merugikan lainnya (Yougberg & Dittel, 1984 dalam Rachman Sutanto, 1991).

Dari pengertian diatas maka ynag dimaksud pertanian organik bukan berarti bertani yang masih primitip maupun ketinggalan jaman (tradisional) dan anti teknologi masukan tinggi seperti pupuk buatan maupun pestisida buatan, melainkan merupakan cara bertani yang berusaha menyelaraskan hubungan antara manusia dan lingkungan sehingga kerusakan yang mungkin terjadi pada lingkungan pertanian akibat penggunaan teknologi masukan tinggi dapat ditekan atau bahkan ditiadakan. Dalam pengertian ini maka manusia harus menyadari secara mendalam bahwa dirinya merupakan bagian dari alam sehingga kerusakan yang terjadi pada alam pertanian dengan sendirinya akan merusak dan mengancam kehidupan manusia. Pandangan yang utuh dan integral semacam ini sebenarnya sudah ada dalam masyarakat tani pedesaan, hanya saja mereka seringkali belum dapat menjelaskan secara nalar sehingga sering dijumpai dalam bentuk mitos maupun yang berbentuk mistik.

Pengenalan dan penerapan pertanian organik di lahan kering.

Dilapangan seing kita jumpai benturan kepentingan antara pembuat program, petugas lapangan pertanian (PPL) dengan para petani. Pada umumnya benturan terjadi karena adanya kesenjangan dalm hal pendapat, cara berpikir, pengetahuan, teknologi yang dikuasai maupun status sosial dsb.

Sebagai contoh kasus pertama kesenjangan tersebut adalah pengenalan pupuk buatan pada petani didaerah pedesaan sering berjalan kurang mulus dan terjadi penolakan karena belum dikenalkan dengan pupuk tersebut dan belum tahu kegunaan maupun karena kurangnya informasi dari luar. Dalam kasus ini para pembuat program maupun PPL beranggapan bahwa kemajuan pertanian hanya dapat dicapai jika petani mau memakai pupuk buatan,. Dan sering terjadi penerapan penggunaan pupuk buatan oleh petani merupakan target kerja yang harus tercapai untuk meunjukkan prestasi kerja dan peningkatan karir. Sementara para petani yang kebanyakan berpendidikan rendah kurang cepat menerima penjelasan tentang cara-cara dan keuntungan penggunaan pupuk buatan. Maka jika program pemakaian pupuk buatan dipaksakan, mungkin akan terjadi pupuk buatan yang berharga hanya disimpan atau bahkan dibuang begitu saja.

Dari kasus diatas kita dapat belajar bahwa tidak semua program pertanian yang berupa paket teknologi dapat diaplikasi oleh semua petani. Sebagai pembuat program dan PPL maka harus secepatnya mencari jalan tengah penyelesaian masalah tersebut.

Penggunaan pupuk alam baik pupuk kandang atau kotoran ternak, pupuk hijau, legum maupun limbah organik yang dikomposkan dapat menjadi alternatip penyelesaian masalah ini.

Keuntungan dari penggunaan pupuk alam ini sangat besar antara lain :

Para petani sederhana dapat memanfaatkan potensi lokal yang ada disekitarnya baik berupa kotoran ternak, legum, humus, rumput-rumputan dari gulma dsb.
Mengurangi tingkat pencemaran dari limbah rumah tangga dan meningkatkan kesehatan lingkungan karena semua sampah dikomposkan.
Mampu menekan ongkos produksi (efisiensi) karena tidak perlu membeli pupuk buatan serta mengurangi ketergantungan dari pihak luar (pabrik pupuk, penyalur/KUD dsb).
Pupuk alam mempunyai kelebihan dalam hal menyimpan lengas tanah sehingga melindungi terhadap kekeringan, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan unsur hara makro dan mikro, mengurangi erosi, mengatur pH, menambah kandungan mikroorganisme yang emmbantu proses biologis tanah dsb.
Para petani tertarik utnuk melaksanakan hutan-tani (Agroforestry) yakni suatu sistem produksi biologi yang dengan sengaja menggabungkan pohon dan ternak dengan pertanaman, ternak, atau faktor produksi pertanian lainnya seperti perkebunan, tanaman buah-buahan dsb. Pupuk hijau didapat dengan menanam tanaman legume yang sekaligus dapat berfungsi menahan erosi seperti kaliandra, gamal, turi, lamtoro dsb. Pupuk kandang didapatkan dari hasil kotoran ternak, sedangkan kompos didapat dari sisa pangkasan/cabutan gulma dengan kotoran segar.

Memang dalam pelaksanaan tidak begitu mudah, karena ada anggapan bahwa petani yang menerapkan pertanian organik adalah petani yang anti pupuk buatan, bahkan mungkin dapat pula dituding anti pembangunan. Ada pula yang berpendapat bahwa penggunaan pupuk alam sudah ketinggalan jaman, tidak modern dsb, padahal dibalik pernyataan tersebut mungkin timbul kekhawatiran pendapatan/ keuntungan ditingkat pengecer pupuk, KUD bahkan menyangkut kelangsungan hidup pabrik pembuat pupuk buatan.

Dan jika hal ini terjadi, maka seharusnya pihak petani yang harus dilindungi, dibela dan jangan disudutkan untuk dipaksa menggunakan pupuk buatan. Petani diberi kebebasan untuk mengelola lahan sesuai dengan prinsip yang dianutnya. Campur tangan yang terlalu banyak kedalam hidup petani jika tidak hati-hati akan sangat merugikan petani dan hal ini bertentangan dengan tujuan pembangunan pertanian yakni peningkatan taraf hidup petani dan keluarganya.

Contoh kasus yang kedua adalah pengenalan dan penggunaan pestisida buatan/ pabrik pada masyarakat tani yang masih sederhana akan dapat menimbulkan masalah jika kurang hati-hati dalam pelaksanaannya. Kita tidak dapat mengingkari bahwa pestisida buatan sangat membantu dan menimbulkan manfaat yang luas terhadap kehidupan manusia apabila dugunakan secara bijaksana. Penggunaan pestisida yang sembarangan dan tidak menuruti aturan akan berdampak negatip yang meluas, merugikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi kelangsungan hidup manusia. Harus disadari bahwa bagaimanapun hebat manfaat pestisida, kita tidak boleh lupa pestisida tetap mempunyai sifat meracun dan mempunyai daya bunuh yang tidak selektip, artinya selain selain membunuh organisme yang ditargetkan (misal wereng), namun juga akan membunuh organisme lainnya yang bukan sasaran (misal lebah madu), predator dll. Dampak negatip lainnya adalah kemungkinan terjadinya peledakan hama kembali., dan didapatkannya residu pestisida dalam berbagai komoditi pertanian dan berbagai kompoenn lingkungan (Nani Djuangsih, 1990).

Dalam menghadapi masalah ini, pembuat program dan PPL harus bijak untuk menilai apakah masyarakat tani binaannya sudah dapat dan mampu mengelola dan menggunakan pestisida pabrik dengan baik atau belum. Jika belum, maka dapat dicari jalan untuk mengatasi hama dn penyakit dengan pengendalian cara lain yang lebih aman tanpa harus memaksa petani menggunakan pestisida pabrik yang beresiko cukup tinggi. Program Pengendalian Hama terpadu (PHT) yang sedang digalakkan pemerintah secara jelas menyatakan bahwa pestisida pabruik merupakan alternatip terakhir apabila cara pengendalian lain sudah tidak mampu lagi. Pengendalian secara mekanis, fisis, budidaya, hayati, tanaman tahan sebaiknya dikenalkan lebih dulu kepada petani dan tidak menggunakan jalan pintas untuk langsung mengenalkan pestisida pabrik pada petani. Jadi usaha yang dilakukan pemerintah sekarang ini menuju ke pertanian lestari.

Dari kedua contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
Perlu adanya kehati-hatian dalam mengenalkan paket bantuan teknologi tinggi seperti pupuk buatan, pestisida pabrik dll pada petani sederhana di Nusa Tenggara.
Pertanian organik sangat relevan utnuk diterapkan dilahan kering Nusa Tenggara mengingat keuntungan yang diperoleh petani dan ketidaktergantungan petani pada pihak luar sehingga kenaikan harga saprotan tidak meresahkan petani kecil..
Pertanian organik untuk pengembangannya dapat diarahkan menuju Wana-tani (Agroforestry)
Keadaan geografis alam Nusa tenggara yang sebagian lahan kering berupa pegunungan serta kondisi perekonomian masyarakat tani yang cenderung masih subsisten merupakan kendala bagi penerapan teknologi tinggi dan sebaiknya komsep pembangunan pertanian lebih diarahkan “kembali ke alam” memanfaatkan potensi lokal yang tersedia serta lebih menjamin kearah pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yakni konsep pertanian organik yang mengarah ke hutan tani. Konsep pertanian organik sudah lebih dikenal dan tidak asing lagi bagi masyarakat tani kecil.

Semoga kita menyadari bahwa alam hanyalah titipan dari anak cucu kita yang harus dijaga kelestariannya sehingga kita tidak mewariskan masalah yang besar karena kesalahan dan keserakahan yang kita perbuat.




YB.T Suryo Kusumo

Pupuk organik, tak kalah gengsi maupun manfaatnya !

Dialam peradaban modern, para petani maju erlomba-lomba tampil bedasupaya tidak kelihatan ketinggalan jaman, termasuk dalam memanfaatkan teknologi pertanian seperti pupuk buatan, pestisida buatan dll. Teknologi pertanian modern menjadi pilihan utama, termasuk keyakina yang kadang-kadang menjadi berlebihan akan manfaat pupuk buatan maupun pestisida kimiawi (pabrik). Akibatnya secara tidak disadari para petani maju semakin tinggi ketergantungannya pada pupuk buatan dengan dosis penggunaan yang semakin tinggi pula.

Penggunaan pupuk buatan secara nasional selama 25 tahun terakhir meningkat lebih dari 16 % per tahun dan sebagian besar pupuk tersebut diserap sektor pertanian tanaman pangan sebesar 72 % dan palawija 13 % (Kompas, 22 Mei 1991, dalam artikel ‘Pupuk organik kembali naik daun’).

Sementara subsidi harga pupuk dari pemerintah semakin dikurangi seiring dengan naiknya harga pupuk buatan dari tahun ke tahun, menjadikan perhatian pemerintah maupun para petani pemakai akan efisiensi penggunaan pupuk buatan sebagai prioritas dengan diperkenalkannya urea tablet.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa kelebihan dalam penggunaan pupuk organik yaitu :
memperbaiki struktur tanah menjadi lebih genbur
menambah kandungan hara tamabahan (mikro)
makanan mikrobia yang dapat menyehatkan tanah
meningkatkan kemampuan tanah menjerap/mengikat lengas (air) tanah
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk buatan (an organik)
mudah didapat, murah
lebih berwawasan lingkungan dan membantu mengurangi polusi dan meningkatkan sanitasi lingkungan

Keyakinan dalam penerapan
Keyakinan akan ‘nilai tambah’ pupuk organik telah lama dibuktikan oleh Yayasan “Bina Sarana Bhakti’ 1996 dibawah pimpinan Pastor Agatho yang mencoba merintis penerapan pertanian organik/lestari/alami. Demikian pula LSM-LSM di belahan timur yakni Timor Timur seperti Yayasan Wiraswasta Tani dengan Pusat Pelatihan Wiraswasta Tani (PUSLAWITA) maupun P3M Raimate (Pusat Pelayanan dan Pengembangan Masyarakat) Yayasan ETADEP ( Ema Mata Dalan Ba Progresso) telah mencoba untuk konsisten hanya memakai pupuk organik dan menekan atau jika memungkinkan tidak memakai sama sekali pupuk buatan.
Hal ini didasari pemikiran dan tujuan jangka panjang untuk memerdekakan petani dari ketergantungan industri pupuik buatan, menekan penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) dalam pembuatan pupuk, pendistribusian dan yang lebih penting dengan penggunaan pupuk organik mampu menciptakan daur ulang pemanfaatn limbah baik berupa humus, kotoran ternak maupun manusia, serta mampu menggabungkan pertanian dan peternakan (pola wana tani/agroforestry). Dalam usaha peningkatan pendapatan petani dan pelestarian daya dukung lahan.

Jadi perlu dipahami dan dimengerti dengan hati bening dan pikiran jernih tanpa apriori bahwa penggunaan pupuk organik bukan berarti tidak mau mengikuti anjuran ‘pemerintah’, namun justru membantu pemerintah mengurangi pengeluaran devisa negara untuk subsidi pupuk buatan dan BBM dsb. Dan berdasar berbagai penelitian, pupuk organik mempunyai beberapa kelebihan dibanding pupuk buatan .
Pemakaian pupuk buatan terutama unsur hara Nitrogen (N) , Posphor (P), Kalium (K) mempunyai keterbatasan dalam tingkat efisiensi penyerapannya. Pupuk Nitrogen (N) tingkat efisiensi penyerapannya hanya 56 – 60 % karena sebagian terlindi (tercuci), terdenitrifikasi, dan menguaop,sehingga pemerintah menggalakkan pemakaian pupuk urea tablet untuk meningkatkan efisiensi penggunaannya. Efisiensi penyerapan pupuk Phospor (P) hanya sekitar 20 % dan sisanya dalam bentuk tidak tersedia, sedangkan pupuk Kalium (K) berkisar antara 50 – 75 % dan suisanya hilang karena pelindian aliran permukaan (run off) serta tersemat pada kisi lempung . Ternyata penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ketiga pupuk tersebut yang merupakan unsur utama yang dibutuhkan tanaman. Dan berdasar penelitian, dari ketiga jenis pupuk organik yakn I pupuk kandang, jerami, pupuk hijau, ternyata pupuk hijau memberikan hasil yang lebih baik dalam meningkatkan efisiensi penyerapan Phospor (P).

Penyadaran
Dalam menggalakkan kembali penggunaan pupuk organik memang tidak gampang, terutama bagi petani yang sudah terbiasa dengan pupuk buatan yang memang lebih mudah mendapatkan, lebih sedikit pemakaiannya, praktis, tidak kotor serta kelihatan lebih bergengsi. Karena sering ada image/citra bahwa memakai pupuk organik seolah identik dengan cap ‘tradisional, kolot’ dan kurang bergengsi. Padahal jika kita kaji lebih mendalam, penggunaan pupuk organik justru lebih bergengsi karena terutama kita ikut bertanggung jawab dalam gerakan pelestarian lingkungan sehingga daya dukung lahan tetap tinggi, berpartisipasi dalam mengurangi polusi karena semua limbah yang dapat terombak dikembalikan ke lahan sebagai pupuk serta membantu pemerintah menghemat pengeluaran devisa atas subsidi pupuk buatan, BBM untuk pembuatan dan distribusi dll.
Maka menjadi tugas kita bersama untuk melakukan penyadaran dalam gerakan ‘kembali ke alam’ dan lebih berwawasan lingkungan sehingga bumi benar-benar menjadi andalan mendukung kehidupan manusia,khususnya dalam penyediaan bahan pangan dan pasokan bahan mentah untuk berbagai jenis industri. Berbagai gerakan kampanye penyadaran akan pentingnya ‘pemanfaatan kembali’ pupuk organik perlu diupayakan sehingga kita tidak terjebak dalam pendewaan teknologi melainkan memanfaatkanteknologi untuk kepentingan manusia dan bukan sebaliknya. Semua pemakaian pupuk organik baik berupa kompos, pupuk kotoran hewan, pupuk hijau maupun humus semakin memasyarakat dan tak kalah gengsi maupun manfaatnya dibanding pupuk buatan.

Bulan Agustus (bulan pemerdekaan
Petani dari ketergantungan)

YBT Suryo KusumoPendamping petani lemah & kecil di Timor Timur

Pertanian lestari, pilihan bijak petani berwawasan jauh kedepan

Mengamati perkembangan pertanian di Indonesia khususnya masalah pencapaian swasembada pangan dan usaha untuk mempertahankannya, maka pemikiran kita sebagai petani kebanyakan langsung tertuju pada pertanian intensip yang mau tak mau harus menyediakan pupuk buatan dan pestisida pabrik dalam berbagai formula.dan merek dagang yang begitu beragam. Seolah-olah pikiran kita sebagai petani sudah terpaku dan tidak ada pilihan lainnya.
Benarkah pemikiran demikian yang selalu terjadi pada petani maju di masyarakat kita ?

Jika memang demikian, kita harus mencari akar penyebab semua itu. Kita tengok awal pengenalan pada petani maju dengan teknologi masukan tinggi dan energi tinggi. Program yang dicanangkan pemerintah dengan model penyuluhan “dipaksa-terpaksa-biasa” dalam mengenalkan pupuk buatan dan pestisida pabrik seakan-akan membuat pikiran petani mau tak mau secara teknis harus mengikuti petunjuk yang sudah diberikan. Sering secara tidak disadari tergambar dalam pikiran petani jika tidak menggunakan pupuk buatan dan pestisida pabrik akan mengalami penurunan hasil atau bahkan mengalami kegagalan. Petani terus menerus dipacu dan berlomba meningkatkan produksi secara maksimal dengan berbagai upaya yang ditempuh dan sering menyimpang dari ketentuan teknis penggunaan pupuk buatan maupun pestisida pabrik. Para petani kurang menyadari dampak negatip yang timbul akibat pengurasan lahan dan adanya keterbatasan daya dukung lahan. Program peningkatan produksi yang bermula dari SSB,SSBM, DENMAS, BIMAS dan berlanjut dengan INMAS-INSUS-SUPRA INSUS seolah-olah memberi dukungan dan pembenaran pendapat para petani bahwa lahan dapat dikuras sampai seberapapun kemauan kita untuk menghasilkan swasembada pangan. Namun akhirnya disadari pemikiran dan perilaku semacam ini memberikan dampak negatip seperti terlihat adanya peledakan hama penyakit dan semakin menurunnya kegemburan tanah yang berakibat semakin sulit diolah, kekahatan unsur hara tertentu terutama unsur hara mikro dsb.

Dan yang lebih menyedihkan adanya berbagai korban anggota masyarakat akibat penyalahgunaan pestisida pabrik terus berjatuhan dari hari ke hari. Keracunan pestisida menjadi berita yang dianggap lumrah terjadi dan bahkan kematian bunuh diri memakai pestisida semakin menggejala di masyarakat tanpa mengusik hati nurani kita yang terdalam. Akibat pencemaran pestisida buatan karena kekurang hati-hatian , ketidak tahuan maupun kenekatan untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya perlu menjadi keprihatinan dan harus selalu diwaspadai oleh seluruh masyarakat.

Melarang petani menggunakan pestisida pabrik dan pupuk buatan bukanlah pekerjaaan yang mudah dan bijaksana. Pelarangan tidak akan menyelesaikan masalah karena kita menyadari masyarakat petani sudah terbiasa dengn hal tersebut dan sulit disadarkan akan dampak negatip yang ditimbulkan.




Penerapan pertanian lestari

Bagaimana mengatasi permasalahan diatas yang merupakan lingkaran setan ?
Pertama-tama jika kita ingin keluar dari lingkaran setan harus terlebih dahulu kita cari setannya. Sering kita mencari setannya diluar diri kita, padahal kalau kita mau jujur setan itu sering ada dalam pola pikir, pola hidup dan cara bertindak diri kita sendiri.
Semua permasalahan diatas jika kita telusuri bermuara pada gaya hidup kita yang cenderung bergaya modern, boros, kurang berpikir jangka panjang , sikap hedonisme, pemujaan teknologi tinggi yang berlebihan tanpa berpikir bahwa hidup yang layak perlu berdamai dengan alam, menjadikan alam sebagai sahabat dan bukan mengeksploatasi untuk memuaskan ego kita.

Namun bukan berarti kita terjebak kedalam romantisme alami/ natural yang cenderung memuja alam secara berlebihan dan takut mengusiknya.

Pertanian lestari atau yang biasa disebut pertanian organik alami merupakan salah satu pilihan bijak dalam menyiasati pemenuhan kebutuhan pangan yang mendasarkan pada keselarasan alam . Pertanian lestari sering diartikan tanpa menggunakan pupuk buatan dan pestisida buatan. Namun pengertian diatas belum cukup untuk mmenyimpulkan sebagai bentuk pertanian lestari.

Permasalahan yang mendasar dari penerapan pertanian lestari adalah bagaimana kita memandang alam ciptaan Tuhan sebagai karunia yang harus dijaga, kita rawat dan kita gunakan, sebagai sarana untuk memudahkan kita dekat dengan Pencipta dan kembali memuliakanNYA. Maka dalam penerapan, lahan bukan semata-mata dipandang sebagai tempat berproduksi dan harus dimanfaatkan serta dikuras sehabis-habisnya melainkan sebagai karunia tempat dimana kita dan generasi berikutnya menggantungkan hidup dan kehidupannya dari kemurahan alam tanpa menimbulkan kerusakan. Dalam bahasa populer biasa dikatakan sebagai pertanian yang mengambil hasil namun lahan tetap tidak kehilangan kesuburannya dan unsur-unsur alam lainnya tetap dalam kondisi ideal untuk mendukung kehidupan manusia. Jadi seolah-olah kita sebagai manusia mengambil hasil dari lahan tanpa menguranginya, meminta tanpa memberi kembali, atau lahan digambarkan seperti susu ibu yang tak habis-habisnya diteteki bayi demi kelangsungan kehidupan generasi selanjutnya. Lahan dipersonifikasikan sebagai payudara ibu yang selalu siap memberi air kehidupan bagi si bayi yang lemah dan bayi tersebut merupakan simbol diri kita yang sebenarnya lemah dan sangat tergantung pada alam sekelilingnya.

Dalam pemahaman seperti ini, kita dihadapkan pada pemikiran bagaimana memanfaatkan alam tanpa merusaknya. Atau dengan kata lain campur tangan manusia kedalam pemanfaatan alam tidak boleh menciptakan degradasi daya dukung alam, namun kebutuhan manusia untuk “hidup layak” terpenuhi.





Tugas kita menurut Notohadiprawiro (1989) adalah:

v Memacu kemampuan alamiah sistim tanah-tanaman-atmosfer dalam mengkonversikan unsur-unsur lingkungan menjadi sesuatu yang berguna bagi manusia.
v Melakukan adaptasi tanaman dan ternak pada lingkungan hidup setempat lewat seleksi pemuliaan konvesional atau melalui rekayasa genetik.
v Membangun kelembagaan yang mendukung rasionalisasi usaha tani, pemberian nilai tambah pada hasil pertanian, dan pelancaran pemasaran hasil usaha tani.

Semua tindakan itu dimaksudkan untuk :
Membatasi ketergasntungan pertanian pada masukan komersial seperti pestisida pabrik, pupuk buatan, subsidi dan kredit.
Membatasi usikan kegiatan atas lingkungan berarti mengurangi dmpak negatip atas lingkungan
Mnegokohkan usaha tani sebgaai pemasok ekonomi nasional.
(Dalam Rachman Sutanto, Makalah Pengembangan Budidaya Pertanian Umumnya Pembangunan Pertanian Yang Berkelanjutan, 1991).

Keberhasilan dan dampak pertanian lestari dapat terlihat jika tingkat kesadaran masyarakat tani terhadap lingkungan semakin bertambah. Untuk itu diperlukan penyadaran terus menerus , kerja keras, berbagi pengalaman, menjalin kemitraan dengan pihak yang peduli pada lingkungan, demi generasi berikutnya dan bukan hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan perut kita sekarang saja.

Maka pengembangan pertania lestari dapat dimulai dari lingkungan terkecil yakni melalui keluarga batih, pendidikan dasar sampai ke jenjang yang lebih tinggi, lembaga keagamaan, HKTI, LPSM-LSM, dan terutama keprihatinan dan kemauan politik pemerintah yang tertuang dalam bentuk kebiujakan (policy) yang dikeluarkan.
Dan yang lebih penting adalah kemauan politik dan niat baik pemerintah yang memberi kebebasan penuh bagi petani untuk mengelola pertaniannya dengan pilihan yang semakin beragam tanpa dibebani swasembada pangan dan tanpa ditakut-takuti dengan berbagai cara oleh oknum-oknum tertentu yang sering hanya mengejar target. Dengan kebebasan yang diberikan memungkinkan petani terlepas dari ketergantungan masukan komersial seperti benih hibrida, pupuk pabrik yang jika dikaji dengan hati bening dan jujur lebih menguntungkan kalangan produsen dan pemasar produk tersebut serta melemahkan posisi tawar menawar petani. Jika pertanian lestari dapat dilaksanakan sebagai sebuah gerakan masyarakat luas maka subsidi pemerintah bagi saprotan dapat dikurangi, BBM yang dibutuhkan dalam proses pembuatan, pengangkutan, dan pebndistribusian saprotan dapat digunakan untuk kepentingan lain. Disamping itu pencemaran serta bahaya keracunan bahan-bahan kimia beracun dari pestisida pabrik/buatan dapat ditekan serendah-rendahnya. Nilai tukar hasil pertanian yang rendah juga harus dicarikan jalan keluarnya sehingga petani menikmati hasil jerih payahnya secara adil.

Dalam penerapan pertanian lestari dibutuhkan kemauan dan kekuatan moral yang tinggi untuk melihat permasalahan lingkungan sebagai masalah transendental yang harus ddipertanggungjawabkan kepada Tuhan . Maka marilah kita berkarya dengan mendasarkan pada keberlanjutan geberasi mendatang dan mendasarkan pada nilai etis yang dapat dipertanggungjawabkan.